BAB.
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Konflik
berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya.
Dengan
dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus
di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya,
integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Didalam
makalah ini, penulis mencoba memaparkan beberapa pengertian serta pandangan
tentang konflik yang dikemukan oleh beberapa ahli, menjelaskan faktor-faktor
penyebab terjadinya konflik, menguraikan jenis-jenis konflik serta pengendalian
konflik.
1.2
TUJUAN
PENULISAN
a.
Mengetahui beberapa pengertian konflik dan pandangan
mengenai konflik oleh beberapa ahli.
b. Memahami
faktor-faktor penyebab terjadinya konflik.
c.
Mengetahui jenis-jenis konflik.
d. Mengetahui
beberapa pengendalian konflik.
BAB.
II
PEMBAHASAN
MATERI
2.1
PENGERTIAN
DAN PANDANGAN MENGENAI KONFLIK
Ada beberapa pengertian konflikmenurut beberapa ahli, menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik
merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437),
hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat
pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen
organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja
sama satu sama lain.
Menurut Robbin (1996), keberadaan
konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu
atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi
maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka
mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik
tersebut telah menjadi kenyataan.
Dipandang sebagai perilaku, konflik
merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual,
interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik
ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan
stres.
Menurut Minnery (1985), Konflik
organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain
berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
Konflik dalam organisasi sering
terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan
respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak
lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
Konflik merupakan ekspresi
pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain
karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya
perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan
dialami (Pace & Faules, 1994:249).
Konflik dapat dirasakan, diketahui,
diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
Konflik senantisa berpusat pada
beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber-sumber
yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang
terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
Interaksi yang disebut komunikasi
antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan
menimbulkan konflik dalam level yang berbeda-beda (Devito, 1995:381).
Stoner dan Freeman(1989:392) membagi
pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current
View):
1.
Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat
dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah
pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang
optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan
manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini,
manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2.
Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak
faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi,
nilai-nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam
berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen
bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk
mencapai tujuan bersama.
Selain pandangan menurut Robbin dan
Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu:
tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
1.
Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk
yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena
dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan
seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan
baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik,
pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi
itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu,
menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2.
Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa
konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis
interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam
konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak
hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap
sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu
hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk
membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja
organisasi
Robbin (1996: 431) mengatakan
konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan
bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di
sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan
konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
1.
Pandangan tradisional (The
Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang
buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik
disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik
ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang
kepercayaan, keterbukaan di antara orang -orang, dan kegagalaan manajer untuk
tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2.
Pandangan hubungan manusia (The Human
Relation View) Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai
suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik
dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok
atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota.
Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna
mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus
dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam
tubuh kelompok atau organisasi.
3.
Pandangan interaksionis (The
Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau
organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang
kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak
aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik
perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap
anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis diri, dan kreatif.
Selain beberapa teori diatas, ada
juga pendapat beberapa ahli lainnya seperti yang terangkum dibawah ini.
1.
Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini
dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui
kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi
tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika
komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan
individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses
itu, pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara
verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka,
gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341).
Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam
antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang
dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata –
kata yang mengandung amarah.
2.
Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber
pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa
konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau
organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga
memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait.
Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya
tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi
konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.
2.2
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB KONFLIK
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan konflik, antara lain :
a.
Perbedaan individu,
yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang
memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata
ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya,
ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi
ada pula yang merasa terhibur.
Seseorang sedikit
banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada
akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c.
Perbedaan kepentingan
antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar
belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang
bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk
tujuan yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam
hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi
bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang.
Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai
penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan
kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan.
Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga
harus dilestarikan.
Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan
antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik
sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula
menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok
atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh
dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya.
Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan
pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta
volume usaha mereka.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi,
tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat
pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan
konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai
kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang
disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan
struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis
dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah
menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam
dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau
mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan
akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
2.3
JENIS-JENIS
KONFLIK
Konflik itu mempunyai banyak jenis
seperti yang dikatakan James A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada lima
jenis konflik yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar
individu dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi.
a.
Konflik Intrapersonal
Konflik
intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi
bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin
dipenuhi sekaligus. Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu
biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:
·
Sejumlah
kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing.
·
Banyaknya
bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan tujuan.
·
Terdapatnya
baik aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuan tujuan yang
diinginkan. Hal-hal di atas dalam proses adaptasi seseorang terhadap
lingkungannya acap kali menimbulkan konflik. Kalau konflik dibiarkan maka akan
menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan.
Ada
tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
·
Konflik
pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang
sama-sama menarik.
·
Konflik pendekatan
penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama
menyulitkan.
·
Konflik
penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang
mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.
b.
Konflik Interpersonal
Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang
dengan orang lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Maka Hal ini
sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan
lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting
dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa
peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi
proses pencapaian tujuan organisasi tersebut. Konflik antar individu-individu
dan
kelompok-kelompok Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka.
kelompok-kelompok Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka.
Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu
dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma
produktivitas kelompok dimana ia berada.
Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama. Konflik ini merupakan
tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi. Konflik antar
lini dan staf, pekerja dan pekerja dan manajemen merupakan dua macam bidang
konflik antar kelompok.
Konflik antara organisasi sebagai contoh seperti di bidang
ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain dianggap sebagai bentuk
konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan. Konflik ini
berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan
produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan
pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.
c.
Konflik antar perorangan
Konflik antar perorangan terjadi antara satu individu dengan
individu lain atau lebih. Konflik ini biasanya disebabkan oleh adanya perbedaan
sifat dan perilaku setiap orang dalam organisasi. Hal ini biasanya pernah
dialami oleh setiap anggota organisasi baik hanya dirasakan sendiri maupun
ditunjukkan dengan sikap. Misalnya seorang manajer pemasaran merasa tidak
senang dengan hasil kerja manajer produksi. Akan tetapi perasaan ini tidak
selalu dilakukan secara terbuka tapi bisa juga secara diam-diam. Apabila ini
berlangsung lebih lama, bisa menyebabkan ketidak selarasan dalam pengambilan
keputusan
d.
Konflik antar Kelompok
Tingkat lainnya dalam konflik di organisasi adalah konflik
antar kelompok. Seperti diketahui bahwa sebuah organisasi terbentuk dari
beberapa kelompok kerja yang terdiri dari banyak unit. Apabila diantara
unit-unit disuatu kelompok mengalami pertentangan dengan unit-unit dari
kelompok lain maka manajer merupakan pihak yang harus bisa menjadi penghubung
antara keduanya. Hubungan pertentangan ini apabila dipertahankan maka akan
menjadi koordinasi dan integrasi kegiatan-kegiatan menjadi sulit.
e.
Konflik antar organisasi
Konflik juga bisa terjadi antara organisasi yang satu dengan
yang lain. Hal ini tidak selalu disebabkan oleh persaingan dari
perusahaan-perusahaan di pasar yang sama. Konflik ini bisa terjadi karena
adanya ketidak cocokan suaut badan terhadap kinerja suatu organisasi. Sebagai
contoh badan serikat pekerja di cocok dengan perlakuan suatu perusahaan
terhadap pekerja yang menjadi anggota serikatnya. Konflik ini dimulai dari
ketidak sesuaian antara para manajer sebagai individu yang mewakili organisasi
secara total. Pada situasi konflik seperti ini para manajer tingkat menengah
kebawah bisa berperan sebagai penghubung-penghubung dengan pihak luar yang
berhubungan dengan bidangnya.
Apabila konflik ini bisa diselesaikan dengan prioritas keorganisasian atau perbaikan pada kegiatan organisasi, maka konflik-konflik bisa dijadikan perbaikan demi kemajuan organisasi.
2.4
PENGENDALIAN
KONFLIK
Bentuk yang paling sering digunakan
dalam pengendalian konflik adalah akomodasi. Akomodasi adalah proses
penyesuaian diri individu atau kelompok manusia yang semula saling bertentangan
sebagai upaya mengatasi ketegangan.
Ada delapan bentuk pengendalian
konflik melalui akomodasi, yaitu :
1.
Koersi
Adalah
pemaksaan kehendak dari yang lebih kuat memaksa kehendak kepada yang lebih
lemah. Contohnya, sistem pemerintahan totaliter.
2.
Kompromi
Yaitu saling
menguragi tuntutan agar tercapai penyelesaian. Contoh : Gencatan senjata.
3.
Perwasitan (arbitration)
Merupakan
pengendalian konflik dimana kedua belah pihak yang bertentangan sepakat untuk
menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan
tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka. Sebagai
contoh : Penyelesaian permasalahan karyawan dengan pihak perusahaan yang
diakomodasi oleh Dinas Tenaga Kerja.
4.
Konsolidasi
(consolidation)
Adalah
terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan timbulnya pola
diskusi dan pengambilan keputusan diantara pihak-pihak yang bertikai mengenal
persoalan yang mereka pertentangkan.
5.
Mediasi (mediation)
Yaitu
pengendalian konflik dimana kedua belah pihak yang bersengketa bersepakat untuk
menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasehat-nasehatnya (sebagai juru
damai) tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan diantara
mereka. Contoh : Mediasi pemerintah RI untuk mendamaikan faksi-faksi yang
bertikai di Kamboja.
6.
Toleransi
Merupakan
pengendalian konflik melalui akomodasi tanpa persetujuan yang resmi. Bisa
terjadi secara tidak sadar tanpa direncanakan kerana adanya keinginan untuk
menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan.
7.
Stalemate
Adalah
kelompok yang bertikai memiliki kekuatan yang seimbang dan mereka sadar tidak
mungkin maju atau mundur sehingga akhirnya pertentangan itu berhenti dengan
sendirinya. Contoh : Perang dingin antara blok barat dan blok timur.
8.
Adjudikasi
Yaitu
merupakan penyelesaian masalah atau sengketa melalui pengadilan atau jalur
hukum. Contoh : Persengketaan tanah warisan keluarga di pengadilan.
BAB.
III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Ada beberapa pengertian konflik
menurut beberapa ahli, menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik
merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
konflik, antara lain : Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian
dan perasaan, Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbeda, Perbedaan kepentingan antara individu atau
kelompok, Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak
dalam masyarakat.
Jenis-jenis konflik dibedakan menjadi :Konflik Intrapersonal, Konflik
Interpersonal, Konflik Antar Kelompok,
Konflik antar organisasi. Bentuk yang paling sering digunakan
dalam pengendalian konflik adalah akomodasi. Akomodasi adalah proses
penyesuaian diri individu atau kelompok manusia yang semula saling bertentangan
sebagai upaya mengatasi ketegangan. Ada delapan bentuk pengendalian konflik
melalui akomodasi, yaitu : Koersi, Kompromi, Perwasitan, Konsolidasi, Mediasi,
Toleransi, Stalemate dan Adjudikasi.
3.2
SARAN
Konflik tidak bisa dihapus maupun dihindari selama masyarakat masih ada. Yang bisa kita
lakukan hanya mengendalikan konflik. Hasil dari sebuah konflik, yaitu sebagai
berikut : meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup)
yang mengalami konflik dengan kelompok lain, keretakan hubungan antar kelompok
yang bertikai, perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa
dendam, benci dan lain-lain.
0 Comments